Walk Away

L E L A H

Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang mau gue tulis di postingan kali ini secara menyeluruh.

Satu kata yang timbul akibat ketimpangan dalam sebuah hubungan.

Dan satu kata yang didalamnya mengandung perjalanan konstan menuju titik jenuh.

Ini bukan perkara egois, disloyal, atau rasa benci. Gue mengambil keputusan untuk cut out a toxic person in my life lebih karna gue ingin menghargai dan mencintai diri gue sendiri. Jadi, tulisan ini bukan diperuntukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk gue bersama akumulasi rasa yang gue pikul dari dulu.

Kaget. Itu respon yang pertama kali muncul.

Selama ini, gue punya prinsip; perlakuan apapun yang gue berikan ke orang lain semata-mata tulus karna orang tersebut pantas mendapatkannya. Di waktu itu (present).

Bukan karna gue orang baik, bukan. Banyak faktor, salah satunya karna tabungan kebaikan dari orang tersebut juga. Semakin berjalannya sebuah hubungan, semakin bertambah juga cerita yang akan gue habiskan bersama masing-masing orang tersebut. Sehingga gak akan sama kadar perlakuan yang akan gue berikan pada masing-masing orang di hidup gue. Contoh kasus yang dapat menjelaskan maksud kalimat gue sebelumnya mungkin kalo dihadapkan pada skala prioritas :)

Tapi satu yang jadi catatan penting, ketika apa yang sudah gue berikan dirusak, gue tidak akan berlarut dalam penyesalan. Tidak akan menyesal karna pernah memberikan satu bentuk kebaikan pada orang lain. Karna menurut gue pada saat itu orang tersebut memang pantas mendapatkannya. Ya, tapi ini kehidupan. Kadang seseorang datang untuk bersama kita sampai jannah, kadang hanya sebagai pelajaran. Not everyone is meant to stay.

Tapi ternyata gue harus mengakui bahwa tiap orang berdiri pada perspektifnya masing-masing. Termasuk prinsip gue di atas. Ternyata ada orang yang juga memiliki prinsipnya sendiri. Bahwa ketika lo berbuat baik ya motivasinya karna ingin kebaikannya dibalas juga sama orang tersebut di lain waktu. Bahayanya, ketika orang yang memberikan kebaikan tersebut mengharapkan sebuah perlakuan balasan dari orang yang ia beri, dan balasan kebaikannya tidak sesuai pada keinginannya, hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi keduanya. Lebih tepatnya bagi hubungan diantara keduanya.

Gue gak bilang prinsip gue lebih bener dari yang lainnya atau mengagungkan pemikiran sendiri. Tapi sekali lagi, tiap orang berdiri pada perspektifnya masing-masing. Sederhananya gini, (1) ada orang kaya raya tapi gak punya waktu banyak sama keluarganya dan (2) ada orang dengan finansial standar tapi punya banyak waktu sama keluarganya. Siapa yang lebih bahagia? Kalo lo jawab yang (2) lebih bahagia karna punya bonding yang kuat dari waktu banyak yang mereka miliki, ya bener. Kalo lo jawab yang (1) lebih bahagia karna mereka bisa ciptain kebahagiaan dari uang yang mereka punya, ya bener juga. Tiap orang punya pandangan masing-masing tentang kebahagiaan dari contoh kasus di atas. Gak ada yang bener ataupun salah. Tapi ketika prinsip tersebut dirasa penting, dan terus menimbulkan gesekan bahkan 'perdebatan' ketika telah berbeda, gue akan memilih mengalah dengan cara pergi daripada bertahan pada lingkaran gak sehat. Sederhananya gue gamau ngabisin energi buat ribut atau bahkan ngomongin orang.

Manusia sebagai makhluk sosial merupakan makhluk yang berhubungan secara timbal-balik dengan manusia lain. Bisa sama keluarga, temen main, temen kerja, dan temen-temen lainnya. Bagi gue, lingkaran hubungan didalamnya haruslah gue jalanin dengan rasa nyaman dan bahagia. Karna usia gue udah gak muda lagi maka gue menambahkan satu poin yang juga harus dicapai dalam sebuah hubungan, yaitu positivity (baca: pengaruh baik dalam hal peningkatan kualitas diri).

Ya, emang tiap orang akan berdiri pada perspektifnya masing-masing. Tapi ternyata hal tersebut gak boleh membuat kita lupa bahwa kita idup di bumi ini ya sebagai makhluk sosial.

Terkadang kita baik, terkadang kita membantu orang lain menjadi lebih baik, terkadang juga kita butuh evaluasi dari orang lain yang menghadapi diri kita juga agar terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Hidup bersama orang-orang yang bisa menerima kita apa adanya emang ada benernya sih. Disituasi tertentu yaa, dan ada batasnya bor. Kalo prinsip itu disalahgunakan buat jd tameng diri kita yang nyebelin bgt dengan berdalih "ah.. guemah emang gini orangnya" insyaaAllah cepat atau lambat orang bakal males sama lo.

Peningkatan kualitas diri bisa didapetin salah satunya lewat hubungan pertemanan. Gimana diri lo itu ya gimana temen-temen lo. Temen lo itu bukan keluarga, yang kalo lo 'jelek' ya mau gak mau mereka akan tetep bersama lo. Temen itu sifatnya ya pilihan. Baik lo yang memilih mereka dan juga mereka yang memilih lo. Ada adaptasi diawalnya. Kalo udah sama-sama saling kenal kita bisa menilai seperti apa temen kita itu. Ketika semua berjalan baik-baik aja kita akan bahagia bersama dalam sebuah hubungan pertemanan, ketika ada kesulitan biasanya temen akan bantu kita pada porsinya, dan ketika ada yang salah dari dalem diri kita biasanya temen kita akan mengevaluasi diri kita dengan beragam gaya dan cara.

Kenapa harus dievaluasi? Karna ini hubungan antar makhluk sosial. Kedua pihak harus sama-sama saling memahami dan membaca maksud supaya gak timpang. Karna ketika ada ketimpangan timbal-balik hubungan sosial ini bakal menjadi sebelah tangan. Satu sisi terus berusaha memahami, dan satu sisi terus meminta dipahami. Usaha kita dalam memahami akan berbanding lurus dengan kedekatan emosional kita pada orang tersebut. Sehingga batas usaha satu pihak tersebut lama-kelamaan juga bisa menemui titik lelahnya.

Termasuk gue. Lingkaran konstan ini telah menemui batas jenuhnya.

Gue lelah berada dalam lingkaran yang selalu mengeluh pada hidupnya secara berlebihan, sehingga menyerap berbagai sumber energi positif. Perlu diketahui bahwa tiap orang punya masalahnya masing-masing yang kadang gak akan dibagikan ke orang lain. Jadi, jangan lah selalu merasa paling menderita dan membuat orang lain harus memahami lo dan masalah lo. Ingat tiap orang punya masalah, hanya mungkin mereka lebih dewasa dalam menyikapi. Gue pun punya. Bertanggung jawablah pada masalah lo sendiri.

Gue lelah berada dalam lingkaran yang anti menerima masukan. Tiap orang pasti pernah bikin kesel atau bikin kesalahan. Dikasih masukan supaya lebih baik dengan berbagai cara, masih juga mental blocking. Dengan kuatnya bertahan gak mau nerima masukan dari siapapun sehingga anti mengucap kata maaf. Berbagai alasan dan pembenaran selalu di garda terdepan membuatnya memposisikan diri menjadi korban, sehingga orang lain lah yang harus bertanggung jawab pada perasaannya.

Ketika ada dua orang ribut, maka harus diurai benangnya untuk mengetahui akar masalah dalam menyelesaikannya. Tapi ketika satu orang bermasalah dengan banyak orang, terlebih orang-orang tersebut pernah menjadi lingkarannya, maka perlu dilakukan evaluasi besar-besaran dan instropeksi diri, apa yang salah dari diri seseorang tersebut sehingga banyak kawan meninggalkannya? Jangan hanya sibuk mencari pembenaran (bukan kebenaran) atas apa yang diyakini.

Tenang, gue gak akan membalas ujaran kebencian lo di twitter. I know it's tempting to fall into the dynamic of toxicity by arguing or fighting, that is precisely what toxic people do, and I won't do that.

Silakan membenci gue, gue mungkin sedang menyibukan diri dengan orang-orang yang membuat gue bahagia. Apapun yang lo bicarakan tentang gue nanti gue tidak mau peduli lagi, karna anda tidak layak mendapatkan atensi saya.

Sekian terima gaji.

Komentar

  1. Masalah yang datang diluar kendali kita bisa diatasi dengan memperbesar lingkaran pengaruh daripada lingkaran kepeduliannya

    - salah satu prinsip 'Be Proactive' dalam 7 habits of highly effective people

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lupa-lupa inget. Berarti sikap yg skrg akhirnya gue pilih ini, meninggalkan lingkaran kepedulian kah? Krn kayanya gak juga memperbesar lingkaran pengaruh, hanya bertahan aja pd lingkaran pengaruh? Iya apa enggak? Ehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

🖤

Akhir Menuju Awal